DPR Segera Bahas RUU Perlindungan Data Pribadi
04 Februari 2020
Administrator
Dibaca 243 Kali
[KBR|Warita Desa] Jakarta| Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan telah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, yang memimpin rapat Paripurna DPR, Senin (3/2/2020) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
"Surat No. R05 Pres/01/2020 per tanggal 24 Januari 2020 perihal tentang Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi maka berdasarkan surat tersebut kami akan meneruskan berdasarkan undang-undang nomor 1 tahun 2014 berkenaan dengan tata tertib akan dibahas melalui mekanisme dan aturan perundang-undangan yang berlaku," kata Azis dalam rapat.
Selanjutnya, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin meminta tanggapan seluruh anggota dewan, untuk meminta persetujuan surat terkait RUU PDP itu, untuk dilanjutkan pada tingkat pembahasan di Komisi terkait. Tak perlu waktu lama, seluruh peserta rapat Paripurna pun menyetujui.
Sebelumnya, Menteri Kominfo Johnny G Plate menjanjikan, draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diserahkan ke DPR akhir 2019 lalu. Ketika itu Johnny mengatakan, RUU PDP merupakan salah satu regulasi prioritas yang didorong supaya segera disahkan oleh DPR dan Pemerintah. Diantara alasannya, karena negara-negara di Uni Eropa sudah memiliki dan menerapkannya.
Desakan RUU PDP Dikaji Ulang
Diantara yang mendesak agar RUU PDP dikaji ulang adalah Dewan Pers. Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo menjelaskan alasannya. Ada satu klausul di dalam RUU PDP tersebut yang berpotensi mengancam kebebasan pers.
Ia menyebutkan, klausul itu adalah tentang adanya poin "right to be forgotten" atau hak untuk dilupakan.
Agus menyebut, klausul itu bisa menyasar insan pers, sehingga setiap orang dapat menuntut media untuk menghapus pemberitaan beberapa tahun sebelumnya atas dasar UU PDP itu.
"Tetapi kemudian right to be forgotten itu juga diperlakukan untuk pers gitu lho. Bisa saja, seorang pejabat yang korup misalnya ya, korup sudah dipenjara, dia sudah keluar dari penjaranya, kemudian menuntut, tolong berita (media) Anda tentang saya lima tahun lalu yang mengatakan saya koruptor tolong dihapus. Nah komplikasinya untuk teman-teman wartawan begitu, itu right to be forgotten dalam konteks kerja jurnalis," kata Agus usai memberi sambutan dalam Seminar Nasional HAM, Kemerdekaan Pers, Perlindungan dan Keselamatan Jurnalis di Indonesia, di Kompleks Kedutaan Besar Belanda, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Dilanjutkan Agus, UU PDP itu sejatinya memang dibutuhkan pada masa saat ini. Namun pasal-pasal di dalamnya tidak boleh justru menghalang-halangi kebebasan pers.
Soal penerapan right to be forgotten, kata Agus, di negara lain biasanya tidak menyasar terhadap insan pers. Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah memperhatikan klausul ini agar tidak merusak tatanan kebebasan pers di Indonesia.
"Di beberapa negara ini berlaku untuk umum, tapi tidak untuk pers. Kemungkinan itu yang harus kita perjuangkan. Teman-teman pers ada mekanisme khusus melalui dewan pers atau KPI. Jangan sampai mencederai kebebasan pers," pesan Agus.
Berikan Rasa Aman
Medio Agustus tahun lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmennya agar Indonesia segera memiliki aturan tentang Perlindungan Data Pribadi. Hal itu ia katakan dalam Pidato Kenegaraan jelang HUT RI ke-74, pada Jumat (16/8/2019) di Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta.
Jokowi mengatakan, negara harus melindungi data pribadi masyarakat yang semakin rawan disalahgunakan oleh penjahat siber. Ia bahkan menyebut data pribadi sebagai komoditas yang lebih mahal dibanding minyak bumi.
"Kita harus siaga menghadapi ancaman kejahatan siber, termasuk kejahatan penyalahgunaan data. Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak. Karena itu kedaulatan data harus diwujudkan hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan tidak boleh ada kompromi," kata Jokowi saat menyampaikan pidato kenegaraan di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, pada (16/8/2019).
Ditambahkan Jokowi, negara harus tanggap dalam menghadapi tantangan baru yang muncul karena perkembangan teknologi, termasuk risiko pencurian data pribadi masyarakat. Menurutnya, kerahasiaan data pribadi yang hingga kini belum diatur undang undang, bisa dimanfaatkan penjahat untuk merusak keadaban dan membahayakan persatuan bangsa.
"Surat No. R05 Pres/01/2020 per tanggal 24 Januari 2020 perihal tentang Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi maka berdasarkan surat tersebut kami akan meneruskan berdasarkan undang-undang nomor 1 tahun 2014 berkenaan dengan tata tertib akan dibahas melalui mekanisme dan aturan perundang-undangan yang berlaku," kata Azis dalam rapat.
Selanjutnya, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin meminta tanggapan seluruh anggota dewan, untuk meminta persetujuan surat terkait RUU PDP itu, untuk dilanjutkan pada tingkat pembahasan di Komisi terkait. Tak perlu waktu lama, seluruh peserta rapat Paripurna pun menyetujui.
Sebelumnya, Menteri Kominfo Johnny G Plate menjanjikan, draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diserahkan ke DPR akhir 2019 lalu. Ketika itu Johnny mengatakan, RUU PDP merupakan salah satu regulasi prioritas yang didorong supaya segera disahkan oleh DPR dan Pemerintah. Diantara alasannya, karena negara-negara di Uni Eropa sudah memiliki dan menerapkannya.
Desakan RUU PDP Dikaji Ulang
Diantara yang mendesak agar RUU PDP dikaji ulang adalah Dewan Pers. Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo menjelaskan alasannya. Ada satu klausul di dalam RUU PDP tersebut yang berpotensi mengancam kebebasan pers.
Ia menyebutkan, klausul itu adalah tentang adanya poin "right to be forgotten" atau hak untuk dilupakan.
Agus menyebut, klausul itu bisa menyasar insan pers, sehingga setiap orang dapat menuntut media untuk menghapus pemberitaan beberapa tahun sebelumnya atas dasar UU PDP itu.
"Tetapi kemudian right to be forgotten itu juga diperlakukan untuk pers gitu lho. Bisa saja, seorang pejabat yang korup misalnya ya, korup sudah dipenjara, dia sudah keluar dari penjaranya, kemudian menuntut, tolong berita (media) Anda tentang saya lima tahun lalu yang mengatakan saya koruptor tolong dihapus. Nah komplikasinya untuk teman-teman wartawan begitu, itu right to be forgotten dalam konteks kerja jurnalis," kata Agus usai memberi sambutan dalam Seminar Nasional HAM, Kemerdekaan Pers, Perlindungan dan Keselamatan Jurnalis di Indonesia, di Kompleks Kedutaan Besar Belanda, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Dilanjutkan Agus, UU PDP itu sejatinya memang dibutuhkan pada masa saat ini. Namun pasal-pasal di dalamnya tidak boleh justru menghalang-halangi kebebasan pers.
Soal penerapan right to be forgotten, kata Agus, di negara lain biasanya tidak menyasar terhadap insan pers. Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah memperhatikan klausul ini agar tidak merusak tatanan kebebasan pers di Indonesia.
"Di beberapa negara ini berlaku untuk umum, tapi tidak untuk pers. Kemungkinan itu yang harus kita perjuangkan. Teman-teman pers ada mekanisme khusus melalui dewan pers atau KPI. Jangan sampai mencederai kebebasan pers," pesan Agus.
Berikan Rasa Aman
Medio Agustus tahun lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmennya agar Indonesia segera memiliki aturan tentang Perlindungan Data Pribadi. Hal itu ia katakan dalam Pidato Kenegaraan jelang HUT RI ke-74, pada Jumat (16/8/2019) di Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta.
Jokowi mengatakan, negara harus melindungi data pribadi masyarakat yang semakin rawan disalahgunakan oleh penjahat siber. Ia bahkan menyebut data pribadi sebagai komoditas yang lebih mahal dibanding minyak bumi.
"Kita harus siaga menghadapi ancaman kejahatan siber, termasuk kejahatan penyalahgunaan data. Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak. Karena itu kedaulatan data harus diwujudkan hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan tidak boleh ada kompromi," kata Jokowi saat menyampaikan pidato kenegaraan di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, pada (16/8/2019).
Ditambahkan Jokowi, negara harus tanggap dalam menghadapi tantangan baru yang muncul karena perkembangan teknologi, termasuk risiko pencurian data pribadi masyarakat. Menurutnya, kerahasiaan data pribadi yang hingga kini belum diatur undang undang, bisa dimanfaatkan penjahat untuk merusak keadaban dan membahayakan persatuan bangsa.
Oleh : Heru Haetami
Editor: Fadli Gaper