Banjir Ijen Diduga Akibat Alih Fungsi Lahan Secara Ilegal
[KBR|Warita Desa] Jakarta| Banjir bandang menerjang Desa Sempol, Kecamatan Ijen, Bondowoso, Jawa Timur, Rabu (29/1/2020). Sekitar 200 rumah rusak, ribuan warga mengungsi, dan 800-an ternak mati akibat peristiwa ini.
Pemerintah Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, memberlakukan status siaga darurat banjir bandang mulai Kamis 30 Januari 2020 hingga 14 hari ke depan.
Hingga Kamis pagi (30/01/2020) banjir bandang sudah surut. Warga mulai membersihkan rumah dan fasilitas umum pascabanjir bandang yang menerjang desanya. Tidak hanya lumpur, ada juga potongan kayu berdiameter cukup besar masuk ke rumah warga.
Warga Desa Sempol RT 12 RW 11, Kecamatan Ijen, Sayuti menduga banjir terjadi karena maraknya pembukaan lahan di Gunung Suket yang merupakan kawasan hulu asal muasal banjir datang.
"Kan di sana itu, di selatan, itu banyak yang buka lahan. Lahannya ditanami kubis, kopi, kentang," ujarnya.
Warga Dusun Kampung Baru, Desa Sempol, RT 12 RW 11, Toyati mengungkapkan hal sama. Kata dia, Gunung Suket telah gundul, karena kebakaran hutan dan telah beralih fungsi menjadi lahan tanaman hortikultura.
"Iya benar, yang menanam rakyat setelah Suket terbakar," katanya.
Namun, menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bondowoso, Kukuh Triatmoko, banjir disebabkan hujan deras yang mengguyur kawasan lereng Gunung Ijen dan Gunung Ranti, beberapa hari terakhir.
“Banjir lumpur itu dari Gunung Suket. Kemarin di daerah sana itu terjadi kebakaran hutan dan lahan. Sehingga ketika terjadi hujan deras beberapa hari di sana, sehingga karena hutannya di sana banyak yang terbakar sehingga air hujan tidak tertahan,” kata Kukuh Triatmoko.
Secara geografis, Kecamatan Ijen berada di kaki Pengunungan Ijen dengan ketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Wilayah ini dikelilingi gunung, perbukitan serta hutan yang membentang. Luas hutan di Pegunungan Ijen sekira 1.300-an hektare.
Beberapa tahun belakangan, wilayah di sini kerap dilanda banjir bandang dengan skala besar hingga sedang. Alih fungsi lahan ditengarai menjadi penyebab utama banjir kerap datang di musim penghujan.
50 Persen Hutan di Jatim Rusak
LSM lingkungan, Walhi Jawa Timur mencatat, dari 1,3 juta hektare hutan di Jawa Timur, 50 persen di antaranya mengalami kerusakan. Artinya ada 700 ribuan hektare hutan mengalami kerusakan parah.
Direktur Eksekutif Walhi, Rere Christanto mengatakan Walhi sudah memperingatkan Perhutani agar membatasi alih fungsi kawasan hutan di wilayah Pegunungan Ijen.
“Sejak 2015 kami sudah mengingatkan bahwa alih fungsi di sana sudah terlalu masif. Kalau tidak dikendalikan bisa menyebabkan bencana yang lebih besar lagi dan itu terbukti,” kata Rere kepada KBR, Kamis (30/1/2019).
Rere menambahkan, alih fungsi kawasan menjadi penyebab utama kerusakan hutan yang menyebabkan banjir, disusul kebakaran hutan. Kata dia, kawasan hutan yang dibuka untuk lahan pertanian menghilangkan fungsi hutan yang harusnya menjadi penopang air.
“Alih fungsi hutan dalam bentuk apapun tidak boleh. Perhutani tidak bisa berdalih dengan mengatakan itu dibuka oleh masyarakat. Perhutani penanggung jawab di kawasan itu. Tidak mungkin masyarakat buka lahan tanpa diketahui Perhutani,” jelas Rere.
Sementara itu, juru bicara Perhutani Jawa Timur, Misbahul Munir mengakui ada banyak hutan di kawasan Pegunungan Ijen yang beralih fungsi. Yakni, dari hutan produksi menjadi tanaman hortikultura.
Meski begitu, ia menampik anggapan bahwa banjir bandang terjadi lantaran alih fungsi lahan. Menurutnya, banjir terjadi karena kawasan irigasi tertutup kayu bekas kebarakan lahan dan ranting bekas pakan ternak yang dibiarkan warga.
“Lokasinya di petak 101-1 hutan lindung, di sana ada saluran irigasi yang tersumbat sehingga meluap. Iya memang masih terjadi warga buka lahan. Kami sudah seringkali sosialisasi dan mengingatkan tapi tak digubris,” kata Munir.
Perhutani mengaku tak punya data pasti berapa jumlah lahan yang beralih fungsi .
Namun, Pada 2016 Perum Perhutani KPH Bondowoso merilis data yang menyebut ada sekitar 800 hektare hutan di Kecamatan Ijen beralih fungsi menjadi lahan pertanian ilegal. Ratusan hektare tersebut terdiri dari Kawasan Hutan Produksi dan Kawasan Hutan Lindung.
Idealnya, dalam satu kawasan hutan produksi, 40 persen dari total luas hutan harusnya berupa tanaman tegakan. Namun, yang terlihat di Kecamatan Ijen justru berbanding terbalik.
Munir juga enggan menyebutkan berapa jumlah keuntungan yang didapat Perhutani dari sistem bagi hasil penggunaan lahan dengan warga.
Namun, hitung-hitungan sektor ekonomi versi Perum Perhutani KPH Bondowoso pada 2016 menyebut setiap hutan yang berubah menjadi lahan pertanian keuntungannya bisa mencapai Rp90 juta per hektare. Jika ada 800 hektare hutan yang beralih menjadi lahan pertanian, berarti pendapatan per musim panen bisa mencapai Rp72 miliar.
Alih fungsi kawasan hutan memang diperbolehkan Undang-Undang. Namun, alih fungsi hutan tak boleh dilakukan serampangan. Pasal 19 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyatakan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan pemerintah didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
Oleh : Friska Kalia
Editor: Sindu Dharmawan